Keajaiban Di Hari Natal
Aku sangat senang, Natal segera tiba. Orang-orang pasti akan mulai sibuk menyiapkan kue untuk dinikmati bersama keluarga, atau pun untuk saling berkirim kue dengan orang terdekat. Dan, itu artinya aku bisa berjualan kue lagi.
Aku segera mengirimkan sebuah pesan singkat kepada teman baikku. Ia seorang pembuat kue. Namanya Wati.
“Lagi sibuk gak? Kutelp ya?”
“Ok”, balasnya.
Aku pun meneleponnya. Bagiku, berbicara langsung lebih enak rasanya, dibandingkan berlelah-lelah mengetik percakapan di HP. Aku kemudian menceritakan maksudku padanya.
“Yes! Deal!”, teriakku girang setelah selesai bertelepon.
“Dring dring”, tidak lama kemudian bunyi suara pesan masuk.
Aku melihat pesan yang dikirimkan Wati. Di dalamnya tertera daftar nama dan harga kue yang bisa ku jual kembali. Ya, aku adalah seorang reseller kue.
Aku sangat bersemangat untuk dapat menjual kue lebih banyak di Natal tahun ini. Aku memerlukan tambahan dana, bukan saja untuk kebutuhan Natal, tetapi karena aku ingin membeli kado Natal yang spesial untuk ibuku. Aku berharap Tuhan Yesus mendengarkan harapanku ini.
Beberapa hari kemudian, aku sibuk memasarkan kue ke pelangganku, dan mengirimkan rekap penjualan ke Wati hingga pada batas hari terakhir pemesanan. Aku senang karena ternyata jumlah kue yang dipesan para pelangganku mencapai target yang kuinginkan. Uang pembayaran sudah kuterima dan semua pesanan sudah selesai dikirimkan.
Sekarang saatnya untuk membayar tagihanku ke Wati. Aku beruntung memiliki teman karib sebagai rekanan bisnis, sehingga aku dapat membayar tagihannya setelah semua kiriman dipastikan beres.
Dengan bahagia kubuka buku catatan keuanganku. Aku ingin melihat total pendapatan dan tagihan yang harus kubayar.
“Astagaa.. aku salah memberi harga..!!”, ujarku terkejut ketika melihat catatan penjualan.
Badanku lemas. Mana mungkin aku menghubungi pelangganku ataupun Wati dan berkata: “Maaf aku salah harga”.
“Salah sendiri tidak teliti!”, rutukku. I have to pay the price for my own mistake.
Aku merasa kesal dengan diriku yang ceroboh. Aku tidak memperhatikan harga jual yang seharusnya kuberikan kepada para pelangganku.
Bodohnya lagi, uang lebih dari penjualan yang kusangka keuntungan serta uang tabunganku yang tidak seberapa, sudah kugunakan untuk membeli kado Natal buat ibu. Waktu itu aku memang sangat bersemangat untuk segera membeli hadiah Natal buat ibu karena hari itu adalah hari terakhir diskon. Aku terduduk lemas. Sirna sudah bayangan wajah gembira Ibu di pikiranku saat menerima kado itu.
Selain itu, aku juga harus memikirkan bagaimana menutupi pembayaran tagihanku ke Wati. Minta perpanjangan waktu juga rasanya tidak etis, ia juga butuh uang untuk terus berproduksi. Wati bukan orang kaya.
Minta uang dari ibu lebih aneh lagi rasanya. Tidak lucu kan, aku memberi ibu kado, lalu aku meminta uang kepadanya. Lagi pula Ibu tidak memiliki uang lebih saat ini. Ia bahkan sedang berjuang keras mengetatkan ikat pinggang untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga kami. Rasanya kepalaku akan meledak.
“Dring… dring”, bunyi suara pesan masuk di HP. Ku lihat ada pesan yang masuk berasal dari Wati.
“Ini total tagihannya, ya”.
Aku menghela nafas panjang dan mulai membaca detail tagihannya.
“Kok rasanya ada yang aneh ya”, pikirku.
Aku mulai mencocokkan tagihan yang dikirimkan Wati dengan catatanku. Segera kukirimkan pesan kepadanya.
“Wat, kamu ndak salah harga tah? Kok harganya segini?”
“Ndak, betul kok”, sahutnya.
“Loh, kan kemarin kamu bilang 150 ribu, kok ini 120 ribu?”
“Iya, betul kok. Atau, kamu dikasih diskon gak mau nih”, ujar Wati mengakhiri chatnya dengan emoticon orang melet.
Aku diam dan tidak bisa berkata-kata lagi.
Segera kutransfer uang sebesar tagihannya dan mengirimkan bukti transfer seraya menulis: “Wat, to tell you the truth. Ini betul-betul mukjizat buatku. Tadinya aku berpikir salah kasih harga, jadinya hasil penjualanku MINUS! Tapi dengan diskon yang kamu kasih, aku enggak jadi minus, malah ada profit. Makasih ya Wat. Peluk hangat dariku. Selamat menyambut Natal yang indah yah”, tulisku sebagai penutup pesan.
Aku meletakkan HP ku. Terdiam diriku sejenak, sebelum aku berdoa mengatakan: “Tuhan, terima kasih untuk pertolongan-Mu. Bahkan di saat aku tidak berseru memohon pada-Mu, melupakan-Mu Sang Penolongku, Kau tetap peduli dan menolongku. Amin”.
Penulis: Riris Siagian – Banjarmasin