Tuhan Menyediakan Vaksin dan Hadiah Natal Untukku
Saryono bersiap untuk pergi berangkat kerja sebagai buruh harian ke Surabaya. Sebelum berangkat ia berjanji akan membawa hadiah natal untuk Dewi isterinya serta kedua anaknya Asih dan Bramono. Keluarganya mengantar langkah Saryono ke luar pagar rumah dengan doa dan harapan kiranya Tuhan memberkatinya di Surabaya. Saryono pun bersegera pergi supaya tidak tertinggal bus ke Surabaya.
Sepanjang perjalanan Saryono berpikir, jika saja ia dapat bekerja beberapa hari di Surabaya, maka ia akan dapat mengumpulkan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk membeli hadiah natal untuk keluarganya. Namun, ia memiliki keraguan akan bisa mendapatkan pekerjaan karena kondisi pandemi. Sebelumnya saja, beberapa pelanggannya di Surabaya sudah jarang memintanya memotong rumput, merapikan ranting-ranting pohon, atau pekerjaan serabutan lainnya di rumah mereka. Pak John langganannya sekarang menyuruh anak-anaknya. Bu Kristin juga sudah ada pembantu yang bekerja di rumahnya sekaligus sebagai pemotong rumput. Saryono menghela nafasnya jika memikirkan hal-hal itu.
“Aah… nanti kan Tuhan sediakan gantinya”, ucapnya dalam hati untuk memberi semangat dirinya.
Saryono sampai di Surabaya. Ia langsung menuju perumahan tempat ia selama ini bekerja serabutan sekaligus juga sebagai penarik becak. Mbak Sri, asisten rumah tangga Pak Handoko, yang melihat kedatangan Suryono langsung menghampirinya.
“Eh, Pak Suryono sudah balik ke Surabaya. Pas benar nih, saya lagi diminta cari orang sama bapak untuk motong rumput di rumah dan membuang gragal bangunan bekas bongkaran. Pak Saryono bisa ndak hari ini?”, cerocos Mbak Sri langsung ke Saryono.
“Bisa-bisa”, jawab Saryono cepat dengan semangat. “O yah, sewaktu saya pulang ke Jombang, Pak Handoko kan masih sakit, bagaimana sekarang kondisinya?”
“Sudah sembuh lama. Waktu itu hanya isoman saja, makanya kamar mandir belakang bisa dibongkar”, sahut Sri sambil mengajak pak Saryono berangkat ke rumah Pak handoko.
Setibanya di rumah, Saryono mendengar sapaan hangat pak Handoko.
“Wah kamu kok lama ngga keliatan, istrimu Dewi dan anak-anakmu sehat kabeh to Yon?”
“Puji Tuhan sehat semua pak”, jawab Saryono santun.
Pak Handoko kemudian menunjukkan gragal-gragal yang harus dibuang, serta rumput dan tanaman hias di halaman belakang dan depan yang harus dirapikan Saryono. Lumayan pikir Saryono, setidaknya dua hari ini dapat kerjaan dari Pak Handoko. Becakku juga bisa dipakai untuk buang gragal. Mulailah Saryono bekerja, Mbak Sri yang telah tahunan ikut Pak Handoko menyajikan kopi dan beberapa jajan pasar untuk Saryono. Saryono mengirim kabar bahagia kepada isterinya melalui sms tentang pekerjaannya.
Setelah jam makan siang, Pak Handoko kedatangan Bu Fadila ketua RT di perumahan. Selang beberapa saat, Saryono dipanggil masuk menemui mereka.
“Yono, ini Bu RT pingin tahu, apa kamu sudah divaksin covid apa belum, kalau sudah apa sudah lengkap dua kali?”, tanya Pak Handoko.
“Wah ya belum sama sekali Pak Han…”, jawab Saryono cemas.
“Begini pak Yono, di RW ini kan baru saja bebas dari warga yang kena covid, jadi sesuai arahan dari kelurahan, setiap pekerja yang bekerja di rumah warga, sekarang juga disyaratkan sudah divaksin paling nggak satu kali. Nah kan pak Saryono dereng (belum) divaksin, tolong diusahakan agar segera divaksin dulu nggih”, Bu Fadila ikut berbicara menjelaskan.
Pikiran Saryono gundah dan muncul beragam kekhawatiran mendengar kata-kata Bu Fadila.
“Karena Pak Saryono bukan warga sini, ga apa-apa, nanti saya buatkan Surat Keterangan Domisili, pakai alamat gereja tempat Pak Saryono biasa tidur di terasnya dan nunut mandi setiap hari bisa kok”, kata Bu Fadila melanjutkan.
Saryono agak lega dan menyetujui rencana itu.
“Nanti setelah terima vaksin pertama, bisa melanjutkan kerja lagi di rumah warga mriki. Tetapi tetap pakai masker. Nah, saat ini ada vaksin di Kecamatan Wonokromo, besok pagi kamu pergi saja dulu ke sana yah”, ucap Bu Fadila mengarahkan.
“Baik bu, terimakasih”, ujar Saryono.
Keesokan paginya Saryono segera berangkat ke Kecamatan Wonokromo. Setibanya di sana dia melihat antrian sudah sangat panjang. Beberapa anggota satpam berusaha mengatur antrian dengan baik.
“Wah, semoga masih bisa kerja walau setengah hari” kata Saryono dalam hatinya.
Saryono melihat pedagang asongan yang berjualan kopi gelas dan segera memesannya. Setelah ngopi dan makan dua lemper mungil, Saryono merasa lebih bugar.
Seorang petugas kecamatan menggunakan pengeras suara mulai memanggil satu persatu nama yang telah mendaftar. Saryono meihat ada tinggal delapan orang lagi di depannya. Saryono senang karena itu berarti ia akan bisa tetap kerja siang nanti setengah hari.
“Test …test… satu dua tiga…mohon perhatian, bapak-ibu yang terhormat, perlu kami beritahukan bahwa untuk hari ini Puskesmas Kecamatan Wonokromo hanya melayani penduduk Kecamatan Wonokromo saja. Jadi bagi Bapak Ibu yang bukan penduduk Kecamatan Wonokromo atau dari luar Kota Surabaya, silakan mendatangi Stadion Tambaksari atau Grand City Mal yang membuka vaksinasi untuk umum”, info petugas dengan suara keras.
“Apa? Waduh. Bagaimana ini”, ucap Saryono kesal.
Dengan kesal dan khawatir tidak dapat bekerja lagi, Saryono bergegas ke meja petugas untuk mengambil surat domisilinya. Ia ingin segera pergi, tetapi ia tidak tahu harus naik apa ke Stadion Tambak Sari atau Grand City Mal. Ia melihat ada beberapa tukang ojek dengan jaket dan helm hijau di pinggir jalan. Saryono meminta salah satu dari mereka untuk mengantarnya, tetapi tukang ojek tersebut mengatakan bahwa ia harus memesan secara online. Saryono mengatakan bahwa ia tidak tahu cara memesannya dan handphone Saryono yang jadul membuatnya tidak dapat mengunduh aplikasi ojol. Untunglah ada seorang tukang ojek online yang mau mengantarnya tanpa lewat aplikasi.
Sesampainya di mal Grand Citiy, Saryono bergegas mengikuti petunjuk tempat vaksin yang dipasang besar-besar. Ia segera meletakkan surat domisilinya ke meja pendaftaran, sebelum ia pergi sebentar mencari makanan sambil menunggu waktu panggilan.
Waktu telah lewat siang hari. Saryono masih mengantri vaksin. Ia merasa sedih karena ia mungkin tidak bisa bekerja setengah hari saja di hari ini.
“Bapak Saryono?”, tanya seseorang tiba-tiba kepadanya.
“Kulo Pak”, sahutnya.
“Ngeten Pak Saryono, jatah vaksin kagem (untuk) penduduk luar Surabaya hari ini di Grand City 125 orang, dan jumlah itu sudah terpenuhi. Jadi Pak Saryono hari ini tidak dapat vaksinasi di sini”, kata petugas itu sambil menyerahkan kembali surat domisili Pak Saryono.
“Waduuh Maaas…, kepripun niki nggih Mas, saya mbok sampiyan tolong, sejak jam tujuh loh saya sudah antri di Kecamatan Wonokromo, baru agak siang diberitahu kalau Puskesmas Kecamatan hanya menerima penduduk Kecamatan Wonokoromo saja. Terus diarahkan dateng mriki, teng Bren Sete. Kalau tidak divaksin, saya tidak dapat kerja di perumahan di sana. Tolong kulo Pak…”, mohon Saryono dengan perasaan lemas.
“Hari ini sebenarnya kami sudah melebihi jatah vaksin luar kota, Pak. Sudah 150 orang yang dari luar kota. Nyuwun ngapunten…Saestu, pun lewat saking jatahipun. Begini ya Pak, saya coba bantu, Pak Saryono coba ke Stadion Tambak Sari, tapi harus sampai sebelum jam dua siang, karena pendaftaran sampai jam dua siang saja. Petugas dan jatah vaksin di sana jauh lebih banyak daripada di sini. Di sana Bapak cari petugas bernama Pak Fadjar ya, dia khusus bagian vaksinasi luar kota”, ujar petugas itu.
Saryono benar-benar mendongkol, merasa diping-pong ke sana kemari sejak pagi, pikiran semakin ruwet, peluang kerja hari itu benar-benar blong, tetapi muncul setitik harapan untuk dapat menerima vaksin hari ini.
Saryono keluar Grand City setengah berlari, dia kembali mencari kerumunan jaket dan helm hijau-hijau, dan dengan cara yang sama dia ke Grand City, sampailah Saryono ke Stadion Tambaksari. Di dalam stadion Saryono segera bertanya kepada petugas, dan dengan diantar seorang petugas Saryono menemui Bapak Fadjar.
“Ooh ini Pak Saryono dari Jombang itu? Duduk Pak”, sapa Bapak Fadjar. “Ini foto surat domisili bapak dan KTP Jombang bapak sudah dikrim ke HP saya oleh Mas Andi Grand City, saya tunggu-tunggu tadi, kok nggak datang-datang,” imbuh Pak Fadjar sambil memperlihatkan HP ke Saryono.
Saryono merasa lega.
“Iya Pak, saya Saryono dari Jombang, tadi nyari-nyari ojek agak lama…”
“Belum pernah vaksin sebelumnya Pak Saryono?”, tanya Pak Fadjar
“Beluum pak…”
Saryono pun akhirnya mendapatkan vaksin. Persaan lega mengiringi langkah Saryono keluar dari Stadion Tambaksari. Ia senang karena orang-orang Surabaya begitu baik kepadanya dan mau menolong. Dilihatnya sekali lagi surat vaksin pertamanya dengan perasaan syukur.
“Duh Gusti, matur suwuuun sangeeeet”, mulutnya bergumam.
Yono melihat ke langit. Waktu sudah menjelang sore. Ia tidak bisa bekerja di hari ini. Ia hanya tinggal punya waktu kerja setengah hari besok, itu artinya ia tidak akan bisa membawakan hadiah natal untuk keluarganya. Di tengah kebahagiaan mendapatkan vaksin, Saryono juga memiliki kesedihan hati.
Esoknya sekitar pukul tujuh pagi, setelah mendengarkan video renungan pagi melalui HP Pak Didik satpam gereja, Saryono dengan membawa gunting tanaman bergegas ke rumah Pak Handoko, dia ingin segera mulai memotong rumput yang kemarin tertunda. Saryono berencana sore nanti akan langsung pulang ke Jombang. Sesampai di rumah Pak Handoko, Sri menyampaikan agar Saryono langsung bekerja karena bapak dan ibu lagi pergi ke luar.
“Yonoooo…. wes kerja lagiii…?”, terdengar suara berat Pak Handoko dari garasi.
Hari sudah menjelang pukul dua belas saat Pak Handoko dan istri pulang.
“Nggih Pak Han, sampun niki…” jawab Saryono.
“Wah wah wah… Yono …Yono, kamu kemarin sore ditelpon bolak-balik sama Dewi, kok ngga nyaut. Sampai Dewi akhirnya telpon saya menanyakan Yono. Saya bilang Dewi kamu kemarin pagi pamit vaksinasi ke Kecamatan. Sampai sore loh ngga ada kabar apa-apa.”
“Iya Pak Han, ooh… Dewi telpon yaa. Saya kok sampai lupa telpon Dewi tadi malam.”
Saryono kemudian bercerita tentang perjalanannya memperoleh vaksin pertamanya.
“O yah, Kata Dewi Yono harus pulang sore nanti ya, mau Natalan di rumah dengan keluarga?”, tanya Pak Handoko setelah mendengarkan ceritanya.
“Iya Pak Han, memang rencananya begitu. Maaf, sudah janjian sama anak-anak. Nanti Senin-nya saya kembali lagi kalau motong rumputnya sore nanti belum selesai”.
“Ya ngga apa-apa. Ini saya bawakan pohon Natal yang dulu dipakai di rumah Sandy, masih bagus seperti baru karena baru dipakai beberapa kali tok, terus disimpan lagi setelah Natalan. Kamu bawa pulang aja ke Jombang. Ibu juga tadi beli beberapa barang hadiah natal, titip ya untuk Dewi, Asih dan Bramono”, kata pak Handoko senang.
Tenggorokan Saryono tercekat, matanya mulai basah.
“Waduh … Pak Handokooo, matur nuwun sanget…matur nuwun sanget”, sahut Saryono dengan suara agak parau.
“Ya, sama-sama Yono. Yono sudah membantu keluarga saya dengan sangat baik selama ini. Ngga pernah mbantah kalau disuruh apa-apa. Diminta tolong sama Sri juga mau, langsung dikerjakan, tanpa mikir kalau Sri itu rewang di sini”, imbuh Pak Handoko.
Dengan bahagia Saryono pun ijin pamit ke pada Pak Handoko dan isteri. Di dalam bus Saryono mengingat semua peristiwa beberapa hari yang sebelumnya. Ia sangat terharu akan segala pertolongan Tuhan. Ia memang tidak dapat membeli hadiah Natal untuk isteri dan kedua anaknya, tetapi Tuhan Yesus ternyata telah menyediakan itu semua. Bahkan, bukan hanya untuk isteri dan anaknya, tetapi Tuhan Yesus juga memberikannya hadiah sebuah pohon Natal yang ia idam-idamkan selama ini. Ia tidak kuasa menahan air mata yang menetes di pipinya. Wajah isteri dan anak-anaknya terbayang jelas. Perjalanan bus sore ke Jombang menjadi terasa sangat lama baginya. Ia tidak sabar untuk merayakan Natal bersama keluarganya.
Penulis: Yahya Djuanda – GKI Diponegoro, Surabaya
Editor: Pdt. Rinto Tampubolon – GKI Taman Aries