Kenangan Natal Yang Tak Terlupakan
Masih jelas dalam ingatanku, walaupun sudah lewat beberapa tahun. Di kala itu, tepatnya 22 Desember 2011, kakakku menelepon dari kampung. Suaranya bergetar ketika memberitahukan bahwa bapak sakit dan dalam kondisi lemah. Sudah seminggu tidak mau makan, hanya minum susu, itu pun sering muntah. Kakak meminta kami agar segera pulang kampung lebih cepat. Ia bercerita bahwa bapak juga tidak mau dirawat di rumah sakit. Saya segera mengajak isteri dan anakku yang berumur 11 tahun untuk pulang kampung.
Sesampai di rumah orang tua, kami menemui bapak di kamarnya. Ia terlihat makin kurus, terbaring lemah. Ia tersenyum menatap kami. Saya pun mencium keningnya dalam rasa rindu.
“Bapak harus dirawat di rumah sakit”, bujukku kepada bapak.
“Nanti saja setelah Natal”, katanya lirih.
“Kenapa harus setelah hari Natal, Eyang?”, tanya anakku tiba-tiba.
“ Saya ingin merayakan natal bersama di gereja, sekaligus melihat penampilan anak-anak sekolah minggu mementaskan tariannya”, jawab bapak.
Rupanya sebelum bapak sakit, ia telah membuat koreografi pementasan perayaan natal untuk anak- anak sekolah minggu. Bapak sangat ingin menyaksikan karyanya dipentaskan. Itulah yang membuatnya bersikeras tidak mau dirawat di rumah sakit. Namun, kondisi kesehatannya sangat lemah, dan ia perlu mendapatkan pertolongan dokter dengan fasilitas kesehatan di rumah sakit.
“Pak, bagaimana kalau Bapak dirawat hanya beberapa hari saja sebelum natal. Ketika natal kita pulang, supaya Bapak bisa mengikuti ibadah dan perayaan di gereja”, ujar kakak kepada bapak.
Bapak terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanda setuju. Puji Tuhan, bapak akhirnya bersedia. Dengan hati senang kami segera membawa bapak ke rumah sakit.
Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan observasi, dokter memanggil kami untuk berbincang. Ia menjelaskan bahwa kondisi bapak sangat lemah, kedua ginjalnya sudah tidak dapat berfungsi lagi. Sontak saya terdiam, saya terkejut, dan tidak bisa berkata apapun. “Separah itukah Bapak”, ucapku dalam hati.
“Berarti Eyang tidak bisa merayakan Natal di gereja dong?”, anakku berbisik lirih didekatku.
Jujur saja, bukan itu yang terpikirkan olehku. Saya lebih khawatir dengan kondisi kesehatan bapak. Di usianya yang sudah 82 tahun, tentunya peluangnya untuk pulih sangat kecil. Batinku menghakimi keadaan.
Bapak pun dirawat di rumah sakit. Kami sepakat memilih kamar paviliun yang lumayan luas, agar bapak nyaman saat anak-cucu membesuk atau menungguinya.
Pagi hari, di tanggal 24 Desember 2011, bapak mulai gelisah. Ia meminta baju-bajunya segera dibereskan. Ia ingin keluar rumah sakit agar bisa merayakan natal esok harinya. Sementara itu, bapak masih terpasang infus, dengan oksigen di hidungnya untuk membantu pernafasannya.
Kakak memintaku menjelaskan kepada bapak, bahwa ia tidak bisa mengikuti ibadah dan perayaan Natal di gereja. Dengan sangat hati-hati, saya menjelaskan kepada bapak bahwa dokter tidak mengijinkan, karena kondisi kesehatanya sedang tidak baik. Bapak marah! Ia mengungkit bahwa kalau kemarin ia setuju di bawa ke rumah sakit, itu karena mereka menjanjikan akan tetap bisa beribadah dan merayakan Natal di gereja. Saya berusaha memberi pemahaman bahwa faktanya tidak mungkin, duduk saja belum kuat, belum lagi ketergantungan terhadap alat-alat yang harus tetap terpasang. Bapak terdiam. Saya melihat air mata menetes di sudut matanya. saya hanya bisa membisu tak berdaya dengan kondisi yang ada.
Hari Natal pun tiba. Pagi-pagi benar kami sudah berkumpul dan berdoa bersama di ruang perawatan bapak, sebelum semua anggota keluarga berangkat ke gereja meninggalkanku bersama bapak di rumah sakit. Lepas tengah hari, terdengar suara riuh menuju ruang kamar perawatan bapak. Saya melihat anak-anak cucu datang bersama dengan empat orang anak sekolah minggu dengan kostum tarian. Melihat mereka, bapak menangis haru sejadinya. Salah satu guru sekolah minggu yang ikut hadir bicara, “Eyang, penampilan anak-anak luar biasa. Puji Tuhan, jemaat terberkati dengan tariannya.”
Koreografi yang eyang buat merupakan perpaduan tarian tradisional Gambyong dan Srimpi, yang lazim dipentaskan menyambut kedatangan tamu agung sejak jaman kerajaan Jawa dulu.
“Anak-anak juga akan pentas lagi di sini, didepan Eyang, saat ini”, kata guru sekolah minggu melanjutkan perkataannya.
Bapak hanya mengangguk, karena tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Sementara anak-anak sekolah minggu mementaskan tariannya, bapak tersenyum bahagia mengikuti setiap gerakan gemulai para penari, yang diiringi tape recorder. Tanganku digenggam erat olehnya sambil sesekali mengangguk-anggukan kepalanya tanda puas.
Setelah pentas tari selesai, anak-anak sekolah minggu kembali pulang kerumahnya meninggalkan kami sekeluarga di ruang perawatan.
“Koreografi itu adalah karya terakhirku yang bisa kupersembahkan untuk menyambut Natal. Di saat kondisi fisikku mulai melemah, aku sempat putus asa, akankah aku sempat mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan? Tetapi Tuhan itu baik. Dia selalu buka jalan, bagi setiap anak-Nya yang setia dan berseru kepada-Nya”, ucap bapak setelah anak-anak sekolah minggu pergi pulang.
Kami semua Bahagia di hari natal itu. Sukacita bapak seperti hadiah NATAL terindah bagi kami. Melaui bapak, kami diwarisi hal-hal baik sebagai bekal hidup. Tepat 20 hari setelah Natal, bapak menghadap Tuhan dengan senyum ketenangan. Bapak sudah damai sejahtera bersama Tuhan Yesus. Kenangan Natal bersama bapak, menjadi kenangan Natal yang tidak terlupakan bagiku.