Pohon Natal Sederhana
Bagi gereja besar, memiliki pohon natal sederhana untuk perayaan natal, mungkin bukanlah masalah yang perlu didoakan dan diperjuangkan. Tetapi bagi gereja kecil kami, dapat memiliki pohon natal adalah sebuah pokok doa dan perjuangan.
Aku masih mengingat bagaimana di waktu dulu, sekitar tahun tujuh puluhan, ketika pohon cemara hidup masih digunakan sebagai pohon Natal, kami guru-guru sekolah Minggu harus bergumul dan berjuang untuk dapat memilikinya. Sebuah pohon Natal sederhana yang kami bisa hiasi dengan kapas-kapas putih di rantingnya, lampu kerlap-kerlip yang mengitari, dan tidak lupa bintang terang di puncak pohon Natal. Tetapi untuk yang sederhana itu pun gereja kami tidak memiliki dana membelinya. Kami berdoa meminta kepada Tuhan. Kami ingin memiliki pohon Natal untuk anak-anak sekolah Minggu kami.
Ada salah seorang guru sekolah Minggu, mengusulkan agar kami berkeliling mencari pohon Natal bekas, yang telah dipakai oleh sekolah Minggu gereja lainnya. Mungkin saja gereja tersebut bisa meminjamkan atau bahkan memberikannya untuk gereja kami. Ide itu membuat kami bersemangat. Kami membagi beberapa tim untuk berkeliling, mencari, dan melobby gereja-gereja yang memiliki pohon Natal.
Salah satu tim memberikan laporan, ada sebuah gereja yang mau memberikan pohon Natalnya untuk gereja kami. Kami semua senang. “Terimakasih Tuhan Yesus”, ucap kami bahagia. Kami sudah membayangkan perayaan Natal anak sekolah minggu nanti akan dihiasi dengan pohon Natal sederhana yang indah.
“O yah, mereka bilang, pohon Natal diberikan setelah dua hari mereka selesai merayakan Natalnya”, ucap salah seorang guru kepada kami.
Kami terdiam. Itu berarti, pohon Natal, baru bisa kami ambil satu hari setelah lewat perayaan Natal anak sekolah Minggu di gereja kami. Itu artinya, kami tetap tidak memiliki pohon Natal untuk perayaan Natal anak. Kami kembali sedih. Padahal, baru saja kami merasakan kebahagiaan.
“Mengapa kita tidak mundurkan saja satu hari perayaan Natal kita? Toh, kita masih punya waktu seminggu untuk mengumumkannya”, ucap salah satu guru sekolah Minggu lainnya.
Kami semua setuju dengan idenya. Semangat kami kembali muncul. Dengan gembira kami segera menyiapkan pengumuman perubahan agenda Natal anak.
Tanpa terasa, tibalah perayaan Natal anak yang kami sudah tunggu-tunggu. Mengingat keterbatasan waktu, maka kami harus segera membawa pohon Natal ke gereja untuk dihiasi sebelum perayaan Natal anak di mulai.
Beberapa orang di utus untuk segera mengambil pohon Natal. Mereka pergi dengan mengendarai sepeda penuh semangat.
Ketika mereka sudah sampai, mereka baru menyadari bahwa pohon Natal itu terlalu besar untuk bisa dibawa dengan sepeda. Untuk menyewa mobil angkutan juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Terlebih lagi, di masa itu tidak mudah mencari sebuah mobil untuk disewa. Mereka sagat sedih dan merasa semua sia-sia. Natal sudah dimundurkan satu hari, tetapi pohon natal tetap tidak bisa dimiliki.
Ketika mereka merasa sudah tidak ada lagi harapan, seorang penatua gereja mengusulkan agar pohon itu dibawa saja dengan becak. Mereka pun memanggil tukang becak untuk membawa pohon Natal ke gereja kami. Pohon Natal akhirnya tiba di gereja. Dengan semangat, kami menghias Pohon Cemara tersebut menjadi POHON NATAL.
Akhirnya, kami dapat merayakan Natal bersama anak-anak sekolah Minggu dengan penuh berkat dan sukacita. Puji-pujian Natal dinyanyikan, sandiwara Natal dan cerita Natal yang dinanti-nantikan oleh anak-anak kami ditampilkan, dan yang tidak terlupakan adalah pohon Natal sederhana yang mengingatkan kami akan cinta, doa, perjuangan, dan harapan pada Tuhan Yesus tidak akan sia-sia.
Penulis: Lely Gratia – GKI Merisi Indah